Pesantren Al-Ittifaq: Santri Tak Hanya Pandai Mengaji, tapi Juga Merawat Bumi


Pesantren Al-Ittifaq: Santri Tak Hanya Pandai Mengaji, tapi Juga Merawat Bumi

Jakarta (23/08) — Dalam sesi Eco Talk Festival REACT Day 2025, Silvie Fauziah dari Pesantren Al-Ittifaq, Bandung, menegaskan peran penting pesantren dalam mengarusutamakan kesadaran ekologis. Melalui pendekatan berbasis nilai keagamaan, Al-Ittifaq berhasil mengintegrasikan kegiatan bertani sebagai bagian dari pendidikan spiritual dan ekonomi.

Berdiri sejak 1934 di kaki Gunung Patuha, Bandung, Al-Ittifaq awalnya berada di tengah masyarakat yang enggan bertani. Banyak warga menjual atau menyewakan lahannya, beralih ke sektor jasa. Melalui pendekatan bertahap, pesantren mulai menghidupkan kembali semangat bertani, sembari tetap menekankan pentingnya mengaji.

Baca Juga: PESANTREN RAMAH LINGKUNGAN: Tumbuh atau Tumbang?

“Santri itu bukan hanya pandai mengaji, tapi juga bisa menjaga bumi dan menghidupi umat. Itulah yang kami terapkan di Al-Ittifaq,” kata Silvie.

Gerakan bertani yang dimulai dari penanaman buncis berkembang menjadi sistem agribisnis berkelanjutan. Pada 1970-an hingga awal 1990-an, hasil pertanian pesantren mulai dipasarkan ke supermarket, rumah sakit, hingga ritel modern di Bandung dan Yogyakarta.

Menurut Silvie, praktik agribisnis ini bukan semata strategi ekonomi, melainkan bentuk nyata dari tanggung jawab spiritual. “Merawat alam adalah bagian dari ibadah. Agribisnis ini merupakan perwujudan spiritualitas Islami yang konkret,” ujarnya.

Baca Juga: Muhadjir Effendy: Kemandirian Ekonomi Pesantren dan Pelestarian Lingkungan

Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Penebangan hutan besar-besaran di kawasan Kawah Rancabali sempat memicu longsor dan kebakaran. Kejadian tersebut menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Kegiatan yang diselenggarakan PPIM UIN Jakarta itu mengumpulkan ratusan anak muda untuk mendorong aksi lingkungan berdasarkan nilai-nilai agama.

Penulis: Tati Rohayati
Penyunting: Savran Billahi