Dapatkan Segera Buku & Hasil Penelitian PPIM UIN Jakarta Download Sekarang

Prospek Radikalisme dan Demokrasi di Asia Tenggara

Share this post

Prospek Radikalisme dan Demokrasi di Asia Tenggara

Ciputat- Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan Jurnal Studia Islamika menyelenggarakan event akbar bertajuk the 2nd Studia Islamika International Conference 2017 pada 8-10 Agustus 2017. Dengan mengusung tema “Southeast Asian Islam: Religious Radicalism, Democracy, and Global Trends, konferensi ini membahas isu-isu sosial keagamaan yang penting dan sedang berkembang di kawasan Asia Tenggara.

Perhelatan yang bertempat di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dihadiri oleh 83 peneliti dari 13 negara dengan latarbelakang keilmuan yang beragam. Konferensi ini juga menghadirkan tiga orang sarjana terkemuka dalam bidang kajian sosial keagamaan sebagai keynote speakers: Prof. Dr. Imtiyaz Yusuf dari Mahidol University, Thailand; Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin yang merupakan salah satu komisioner pada the Independent Permanent Human Right Commission (IPHRC); dan Dr. Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).

Jajang Jahroni, Ph.D, ketua pelaksana konferensi, menuturkan bahwa konferensi ini terbagi dalam 23 panel. “Konferensi kali ini mendiskusikan tema-tema terkait isu-isu sosial keagamaan yang sedang berkembang di Asia Tenggara saat ini. Dengan fokus pada radikalisme, demokrasi, dan global trends, kajian-kajian lain seperti pendidikan, filantropi, ekonomi, gender, dan sosial media dapat dikaitkan dengan core tema konferensi tersebut untuk didiskusikan di dalam panel-panel yang disediakan” ujar doktor lulusan Boston University ini.

Oman Fathurahman selaku Managing Editor jurnal Studia Islamika menambahkan bahwa konferensi ini menghadirkan para sarjana-sarjana berpengaruh dalam kajian keislaman sebagai pembahas dalam setiap panel. Nama-nama seperti Azyumardi Azra (UIN Jakarta), Phillips J. Vermonte (CSIS), Syafiq Hasyim (ICIP), Muhamad Ali (University of California Riverside), Yuniyanti Chuzaifah (Komnas Perempuan), Luthfi Assyaukanie (Qureta.com), Ali Munhanif (FISIP UIN Jakarta), dan Dadi Darmadi (PPIM UIN Jakarta), adalah sebagian dari para pembahas pada panel-panel diskusi.

Merespon Kondisi Asia Tenggara

Dalam presentasinya, Imtiyaz Yusuf membahas pentingnya mengkaji dialog agama-agama yang ada di Asia Tenggara. Dia menilai masih sedikit akademisi dan studi akademis yang membahas hubungan agama-agama seperti Budhisme, Konfusianisme, Taoisme, Hinduisme dan Islam.

“Studi-studi terkait dialog dan hubungan antar agama sedang menjadi kebutuhan bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Meningkatnya faktor global seperti Islamopobia dan faktor internal seperti konflik etno-religius di negara-negara Asia Tenggara berbahaya bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan ini. Sayangnya minat terhadap tema ini cenderung masih belum banyak yang meminati” tambah professor yang menguasai tujuh bahasa ini.

Imtiyaz mencontohkan, bahwa masih sedikitnya para mahasiswa yang melakukan studi tentang hubungan antara Islam dan Buddha. Padahal menurutnya, saat ini kedua agama tersebut merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, di mana umat Buddha sebesar 42% dan umat Islam sebanyak 40% dari total populasi penganut agama di Asia Tenggara. Studi-studi tersebut tentunya akan berkontribusi membangun hubungan saling kesepahaman antar pemeluk agama baik dalam konteks domestik maupun antar negara di kawasan ini.

Pembicara utama lainnya, Siti Ruhaini Dzhuhayatin pada hari yang sama membahas peran perempuan dalam menolak ekstrimisme. Menurutnya jika seorang perempuan bergabung dengan kelompok teroris atau ektrimis, maka hak-hak dasar mereka sangat berpontensi terenggut.

“Ketika perempuan dan anak-anak bergabung ke dalam kelompok ektrimis, maka kecenderungannya adalah mereka menjadi objek kekerasan berbasis gender seperti pembunuhan, penculikan, pernikahan paksa, pembatasan kebebasan bergerak, akses terhadap pendidikan dan partisipasi publik lainnya” ujar dosen sosiologi hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tersebut.

Dalam mengatasi persoalan tersebut, Ruhaini menekankan pentingnya mempromosikan ajaran agama yang ramah terhadap masalah gender di setiap tingkat institusi keagamaan. Memperkuat peran dan reputasi ulama perempuan di ruang publik dianggap sebagai solusi yang effektif karena mendorong pemikiran yang kritis di kalangan perempuan. Terakhir dia menekankan pentingnya menciptakan kontra narasi terhadap ekstremisme di media sosial yang menyasar para perempuan generasi muda di media sosial, dengan memberi mereka teladan dan pemahaman keagamaan yang moderat.

Sebagai penutup sesi keynote speech, Sidney Jones dalam presentasinya memfokuskan pada aktifitas ISIS di Asia Tenggara. Dia menjelaskan mengapa ISIS tidak mempunyai pengaruh yang kuat di Indonesia jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Marawi, Filipina Selatan. Menurutnya, di Marawi kelompok-kelompok milisi lokal seperti: Moro Islamic Liberation Front (MILF), Moro National Liberation Front (MNLF), Abu Sayyaf Group (ASG), dan Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF), saat ini bergabung ke dalam ISIS.

Sidney juga menjelaskan bahwa buruknya kinerja pemerintah lokal, kemiskinan, penegak hukum yang tidak kredibel dan lemahnya penegakan keamanan menjadi faktor pendorong utama para milisi bergabung ke dalam ISIS. Pakar terorisme ini melihat bahwa wilayah-wilayah di Indonesia tidak mempunyai faktor-faktor tersebut. Namun menurutnya wilayah di Indonesia yang paling rentan terhadap ISIS adalah Poso karena masih ada beberapa veteran mujahidin konflik Poso.

Diakhir acara, peserta konferensi bersepakat membentuk sebuah asosiasi yang diberi nama SEAFIS (Southeast Asian Association for Islamic Studies). Dipimpin oleh Prof. Dr. Jamhari Makruf, Dewan Penasehat PPIM UIN Jakarta, para peserta menandatangani plakat asosiasi tersebut. “Asosiasi ini sebagai wadah dan jejaring bagi para sarjana-sarjana yang mendalami kajian keislaman di Asia Tenggara, yang tujuannya adalah memperkuat kajian multidisipliner Islam di kawasan ini”.