Tri Hita Karana: Mengenal Konsep Ekoteologi Hindu dari Wisnu Bawa Tenaya


Jakarta (11/09) – Di tengah meningkatnya krisis lingkungan, agama memegang peran penting dalam menyuarakan tanggung jawab spiritual untuk merawat bumi. Dalam agama Hindu, tanggung jawab ini berakar pada filosofi Tri Hita Karana, yang menjadi landasan ekoteologi Hindu.

Konsep ini dibedah secara mendalam oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.

Apa Itu Tri Hita Karana? Filosofi Harmoni Hindu

Tri Hita Karana secara harfiah berarti “tiga penyebab kebahagiaan”. Menurut Wisnu Bawa Tenaya, ini adalah filosofi dasar yang mengajarkan pentingnya menjaga tiga hubungan harmonis Parahyangan (Hubungan yang selaras dengan Tuhan), Pawongan (Hubungan yang selaras dengan sesama manusia), dan Palemahan (Hubungan yang selaras dengan alam lingkungan).

“Keselarasan dengan alam diinterpretasikan sebagai mekanisme simbiosis antara manusia dengan alam. Simbiosis inilah yang pada gilirannya menghasilkan harmoni dan kesejahteraan,” jelas Wisnu Bawa Tenaya.

Dalam pandangan ini, merawat alam bukanlah sekadar tindakan teknis, melainkan sebuah kewajiban spiritual untuk mencapai keseimbangan hidup.

Sad Kerti: Enam Langkah Praktis Menjaga Alam

Filosofi Tri Hita Karana tidak berhenti di tataran konsep, melainkan diimplementasikan melalui ajaran Sad Kerti. “Sad” berarti enam, dan “Kerti” berarti laksana atau upaya. Jadi, Sad Kerti adalah enam pilar aksi untuk menjaga kelestarian alam, yang meliputi Jana Kerti: Menjaga keseimbangan jiwa dan raga; Jagat Kerti: Menjaga keharmonisan alam semesta; Danu Kerti: Menjaga kesucian sumber air (danau, sungai); Samudera Kerti: Menjaga kelestarian laut; Wana Kerti: Menjaga kelestarian hutan; dan Atma Kerti: Menghormati dan menyucikan roh leluhur.

Keenam pilar ini menjadi panduan praktis bagi umat Hindu dalam menjalankan tanggung jawab ekologis mereka sehari-hari.

Dari Kain Poleng hingga Desa Penglipuran: Praktik Nyata di Bali

Implementasi ekoteologi Hindu dapat dilihat secara nyata dalam budaya masyarakat Bali. Salah satu contoh paling ikonik adalah Saput Poleng, yaitu kain kotak-kotak hitam-putih yang sering dibalutkan pada pohon-pohon besar.

“Praktik ini adalah simbol penghormatan, pengakuan bahwa pohon memiliki jiwa dan kehidupan yang harus dijaga,” kata Wisnu Bawa Tenaya.

Contoh lain yang luar biasa adalah Desa Wisata Penglipuran di Bangli. Tata letak desa, arsitektur rumah adat, hingga sistem kebersihannya dirancang berdasarkan filosofi Tri Hita Karana untuk menciptakan keseimbangan sempurna antara manusia dan lingkungan.

Peran Krusial Pemuka Agama

Wisnu Bawa Tenaya menutup pesannya dengan menekankan peran penting pemuka agama. Menurutnya, pemuka agama harus menjadi teladan (role model) dalam menerapkan ajaran pelestarian lingkungan.

“Pemuka agama perlu ada di garda terdepan, memberikan contoh nyata. Di situlah letak kekuatan agama, yakni kemampuannya menggerakkan umat melalui keteladanan,” pungkasnya.

Penulis: Ronald Adam
Penyunting: Irfan Farhani